Implementasi Pengaruh Kebijakan Ekspor-Impor Garam Terhadap Petani Garam Di Desa Pinggir Papas





IMPLEMENTASI PENGARUH KEBIJAKAN EKSPOR-IMPOR GARAM TERHADAP PETANI GARAM DI DESA PINGGIR PAPAS
                                                                  Akhmad Fawaid
                                              Program sosiologi , SMA Negeri 2 SUMENEP
                                                          fawaidakh@gmail.com

                                                              Abstrak
Pemerintah Indonesia khususnya  kementerian perdagangan  sebagai lembaga yang berwenang dalam menentukan  kebijakan ekspor dan impor, tentunya kebijakan tersebut akan memberikan pengaruh dan dampak yang signifikan terhadap para petani garam di Idonesia secara umum , dan khususnya para petani yang ada di pulau Madura terutama yang ada di desa pinggir papas, kalianget, Sumenep. Garam merupakan barang yang berpotensi menjadi barang komoditi ekspor bagi Indonesia terutama pulau Madura. Kebijakan pemerintah yang  menentukan kebijakan dengan mengimpor garam dari luar negeri kedalam negeri menjadikan problematika tersendiri bagi para petani garam. Garam yang dihasilkan oleh para petani garam lokal kalah bersaing dengan garam yang di impor dari pemerintah dari luar negeri, akibatnya mereka kalah dalam hal pemasaran untuk itu harus dilakukan langkah yang nyata terhadap hal tersebut khususnya lembaga-lembaga terkait seperti kementrian perdagangan untuk dapat menginplementasi tentang pengaruh-pengaruh dan dampak-dampak yang akan disebkan oleh hal tersebut. Resuffel kabinet yang dilakukan oleh setkab(secretariat cabinet) untuk membenahi kinerja cabinet para menteri, terutama yang di resuffel dalam cabinet tersebut adalah kementrian perdangan. Menteri perdagangan yang terdahulu yaitu RAHMAT GOBEL yang digantikan oleh yang kita harapkan semuanya semoga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan akan membenahi segala aspek yang ada kaitannya dengan perdagangan khususnya garam akan lebih baik lagi dan berpihak kepada rakyat-rakyat kecil. Langkah nyata itu baru-baru ini dapat kita lihat dari dikeluarkannya kebijakan paket ekonomi ke dua yang di keluarkan dan di canangkan oleh bapak presiden, semoga benar-benar dilaksanakan secara serius dan benar-benar secara tepat sasaran.   

PENDAHULUAN
Perdagangan merupakan kegiatan jual beli antara satu orang dengan orang lain yang saling berintraksi, komonikasi dan tawar menawar untuk mencapai suatu kesepakatan bersama dan tujuan bersama untuk memperoleh sebuah hasil yang saling menguntungkan di antara masing-masing pihak. Terutama yang ditekankan dalam perdagangan barang tambang non logam yang berupa garam, garam sendiri di Indonesia yang terkenal sebagai penghasil garam terbaik yaitu pulau Madura yang di juluki sebagai pulau garam. 

Menyandang sebagai pulau garam tentunya Madura memiliki tempat-tempat potensial sebagai penghasil garam terutama yang ada di desa pinggir papas kalianget sumenep dimana di daerah tersebut banyak para petani garam yang di kelolah PT GARAM PERSERO yang sudah ada dari mas waktu msa waktu penjajahn belanda di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari  bangunan  pabrik tersebu seperti benteng kalimoo perumahan eropa dan pelabuhan sebagai tempat singgah untuk aksebilitas dalam melakukan hubungan perdagangan pada jaman dahulu.


Kebijakan ekspor impor di Indonesia sudah berlangsung lama bahkan pada saat zaman colonial belanda pada realitasnya kebijakan ini selalu tidak berpihak terhadap orang-orang kecil keberadaan mereka seolah tidak di akui dan mereka juga tidak diperdulikan tidak jarang pula terjadi diskriminasi terhadap mereka hal ini menyebabkan tekanan mentalitas terhadap masyarakat itu sendiri. Tidak banyak pula masyarakat yang berprofesi sebagai petani garam tidak memiliki skill dalam konteks bidang lain hal ini menyebabkan ketimpangan sosial yang terjadi pada paradikma yang tersusun dari atas sampai akhir.
                Pada objektifitas dalam realitas yang terjadi masyarakat sulit untuk menyampaikan aspirasinya karena mereka tidak di berikan akses untuk menyampaikan aspirasinya tersebut. Pemerintah harus mensosialisasikan segala aspek-aspek yang berkaitan dengan masyarakat khususnya dalam hal ini adalah kebijakan yang di ambil oleh pemeritah dalam hal espor impor garam. Eskpestasi masyarakat sudah terlanjur terhadap pemerintah akan tetapi dengan peristiwa hal tersebut menyebabkan ekspektasi dalam masyarakat menjadi menurun(down).
ojektifitas yang terjadi bahwa ada kemungkinan ada praktek internal yang bermain di dalam penentuan kebijakan-kebijakan itu. Internalisasi yang terjadi di dalam lingkungan di pemerintah harus di brantas. Oknum-oknum yang bermain di sana tentunya memiliki kepentingan politik dan kepentingan pribandi yang menyebabkan rasionalitas berpikir mereka kalah dengan ego mereka. 
                Untuk itu terdapat fakta menarik terutama di desa pinggir papas bahwa terjadi bebagai bentuk diskriminasi dan penolakan masyarakat terhadap kebijakan tersebut sebagian masyarakat yang berada di desa tersebut ingini kebijakan itu segera di cabut.
Indonesia diketahui masih mengimpor garam dalam jumlah yang cukup besar. Apa sebenarnya alasan pemerintah membuka keran impor garam ditengah sumber daya bahan baku yang sangat berlimpah di Indonesia itu?

                Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Dedi Saleh mengungkapkan kebijakan impor garam yang mereka terapkan sebenarnya memang disebabkan produksi dalam negeri yang tidak mencukupi. Ia mengungkapkan, pada tahun 2010 lalu, panen garam tidak bagus sehingga keran impor akhirnya dibuka.

"Berarti produksi di dalam negeri itu kurang. Kalau produksi dalam negeri meningkat, kita kurangi jatah impornya," ujarnya ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Senin malam (8/8/2011).

Dedi menambahkan, pihaknya akan benar-benar mengurangi izin impor atau bahkan menutup keran impor garam asalkan kebutuhan garam dalam negeri benar-benar sudah dapat dicukupi. Namun, semua pihak terkait juga perlu memberikan data yang benar agar tidak merugikan konsumen dalam negeri.

"Asal betul diberi data produksi dalam negerinya. Jangan produksi dalam negeri dikatakan tinggi, impor kita kurangani atau stop, tahu-tahu barangnya tidak ada di dalam negeri karena iklim sehingga harga meningkat nanti kebutuhan masyarakat yang dikorbankan," tambahnya.

Dedi menjelaskan, Peraturan Menteri Perdagangan sebenarnya tertulis dapat menentukan waktu panen raya garam. Karena pada tahun ini panen garam akan terjadi pada bulan Agustus, kebijakan
impor garam pun sudah harus dihentikan pada bulan Juli. "Berdasarkan rekomendasi kementerian teknis. makanya dalam rapat itu disepakati impor sampai pertengahan Agustus diberikan waktu impor karena diperkirakan mulai panen raya pertengahan agustus," jelasnya. Di tempat yang sama, Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu juga berkomentar, bersama dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan akan melakukan koordinasi untuk menentukan garam dalam negeri."Garam di dalam negeri harus ada. Berarti panennya kapan dan produksinya berapa harus tahu," jelasnya.

Di samping itu, Mari menambahkan, kualitas garam yang akan dikonsunsi di dalam negeri juga harus diperhatikan."Kualitas dari garamnya juga harus ada standar dan itu berlaku untuk garam dalam negeri dan luar negeri karena konsumen kita berhak mendapat garam dengan standar," ungkapnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) porsi impor garam Indonesia yang terbesar adalah dari Australia. Untuk periode Januari hingga Juni 2011, impor garam dari negeri Kanguru mencapai 1,04 juta ton dengan nilai US$ 53,7 juta.
Selain dari Australia, impor garam juga diambil dari India yaitu sebesar 741,12 ribu ton dengan nilai US$ 39,84 juta. Ada juga dari Singapura, Selandia Baru, Jerman sehingga total impor garam sampai Juni 2011 mencapai 1,8 juta ton dengan nilai US$ 95,42 juta

impor garam pun harus di hentikan pada akhir bulan juli pada waktu itu. .
"Berdasarkan rekomendasi kementerian teknis. makanya dalam rapat itu disepakati impor sampai pertengahan Agustus diberikan waktu impor karena diperkirakan mulai panen raya pertengahan agustus," jelasnya. Di tempat yang sama, Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu juga berkomentar, bersama dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan akan melakukan koordinasi untuk menentukan garam dalam negeri.

"Garam di dalam negeri harus ada. Berarti panennya kapan dan produksinya berapa harus tahu," jelasnya. Di  samping itu, Mari menambahkan, kualitas garam yang akan dikonsunsi di dalam negeri juga harus diperhatikan dan dapat memenuhi kebutuhan garam nasional..

"Kualitas dari garamnya juga harus ada standar dan itu berlaku untuk garam dalam negeri dan luar negeri karena konsumen kita berhak mendapat garam dengan standar," ungkapnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) porsi impor garam Indonesia yang terbesar adalah dari Australia. Untuk periode Januari hingga Juni 2011, impor garam dari negeri Kanguru mencapai 1,04 juta ton dengan nilai US$ 53,7 juta.

Selain dari Australia, impor garam juga diambil dari India yaitu sebesar 741,12 ribu ton dengan nilai US$ 39,84 juta. Ada juga dari Singapura, Selandia Baru, Jerman sehingga total impor garam sampai Juni 2011 mencapai 1,8 juta ton dengan nilai US$ 95,42 juta. Garam telah menjadi konsumsi masyarakat Indonesia sehari-hari. Garam dapur terutama, telah menjadi bahan makanan yang paling dibutuhkan di semua lapisan masyarakat. Akan tetapi tahukah kita bahwa Indonesia mengimpor garam dalam jumlah yang sangat besar. Inilah fakta yang terjadi. Produksi garam lokal pada kenyataannya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan garam domestik yang kemudian memaksa pemerintah untuk mengimpor garam dari negara lain. Ironis tampaknya ketika Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang ke-4 di dunia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan garam dalam negerinya. Garam yang bersumber dari air laut masih mengalami kelangkaan pada waktu-waktu tertentu. Terlebih lagi kebutuhan garam masyarakat Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Dalam menganalisis kebijakan impor garam yang dilakukan pemerintah maka tentunya poin utama yang patut diperhatikan adalah proses pengambilan kebijakan itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam tiap pengambilan kebijakan suatu negara terdapat pertarungan antara kelompok-kelompok kepentingan baik dalam pemerintahan maupun yang bertindak sebagai kelompok penekan. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian menjadi representasi kepentingan nasional. Di sisi lain ada asosiasi petani garam dan PT Cheetam yang mewakili kepentingan mereka masing-masing.
kompleksnya hubungan dan kepentingan tentunya menciptakan pro dan kontra dalam kebijakan impor garam.
Impor garam banyak dikritik oleh sejumlah kalangan karena dianggap melibatkan artikulasi kepentingan korporasi yang akan mematikan insdustri garam lokal dan mencabut pencaharian para petani garam. Isu ini pernah menjadi topik hangat yang kemudian dikaitkan dengan pemecatan Fadel Muhammad sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang pernah menolak kebijakan impor garam. Dengan melihat hal terebut maka tentunya tidak dapat dinafikkan bahwa motivasi ekonomi dan politik menjadi landasan dalam diambilnya kebijakan impor garam. Pemerintah dianggap telah bekerja sama dengan perusahaan pengimpor garam dalam melolosakan kebijakan tersebut.
Hal menarik yang patut diperhatikan adalah tidak ada sinkronitas antara data yang disajikan oleh kementerian-kementerian terkait. Secara stratistik tidak ada kesesuaian antara data-data yang disajikan terkait kemampuan produksi garam lokal. Angka yang tertera ini tentunya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Akibatnya kebijakan impor garam yang seharusnya didasarkan pada alokasi kebutuhan garam lokal juga tidak mempunyai kejelasan. Terkait impor tersebut, pemerintah yang mengimpor garam dari Australia mengemukakan alasan bahwa pada dasarnya produksi garam lokal memang tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga harus impor. Hal ini terutama disebabkan beberapa hal antara lain keterbatasan teknologi dan kondisi alam. Di Australia contohnya, telah ada teknologi yang dapat menyuling air laut sehingga bisa memperoleh garam dengan kualitas baik. Di samping itu musim hujan juga memengaruhi tingkat penurunan produksi garam yang sangat drastis. Iklim dengan curah hujan yang besar sangat tidak kondusif dalam pengolahan garam yang sangat membutuhkan sinar matahari. Untuk itu walaupun perairan Indonesia sangat luas, tetapi pengolahan garam yang masih sangat tradisional pada kenyatannya menjadi penghambat efisiensi, kualitas dan kuantitas produksi garam lokal. Akan tetapi jika mengamati argumentasi yang dikemukakan pemerintah poin yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauh mana langkah pemerintah untuk mengembangkan teknologi pengolahan garam di Indonesia secara mendiri. Bukankah dengan penerapan teknologi yang lebih mutakhir akan memperbesar kouta produksi dalam negeri dan melipatgandakan keuntungan bagi negara yang nantinya akan berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat terutama para petani garam. Namun sepertinya motivasi pemerintah tidak lagi didasarkan pada kesejahteraan rakyat. Keuntungan materi yang sebesar-besarnya bagi kelompok-kelompok kepentingan tertentu telah menjadi landasan dalam pengambilan kebijakan. Hingga saat ini belum ada upaya signifikan dari pemerintah untuk meng-upgrade teknologi pengolahan garam. Bahkan tidak ada insentif bagi petani garam sehingga mereka sebagian besar tidak mampu lagi berproduksi.
Ada beberapa hal yang patut untuk dievaluasi kembali dari kebijakan pemerintah mengimpor garam. Pertama, harus ada kejelasan mengenai kapasistas produksi dalam negeri dan sinergitas antara semua lembaga pemerintah yang terkait. Hal ini guna mengetahui kondisi garam domestik dan besar kuota garam yang dapat diimpor. Kedua, harus ada pelibatan perwakilan petani garam dalam pengambilan kebijakan impor garam tersebut. Hal ini agar kebijakan yang diambil nantinya mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat. Ketiga, kalaupun pemerintah harus mengimpor garam akibat permintaan domestik yang sangat besar maka kebijakan impor tersebut harus diiringi dengan upaya pengembangan teknologi jangka panjang. Hal ini agar impor garam tidak menjadi ketergantungan dalam waktu yang lama dan ada peluang bagi indonesia untuk swasembada garam di masa yang akan datang. Selanjutnya pemerintah juga harus memperhatikan dan mengatur waktu dalam mengimpor garam. Waktu impor yang baik adalah jauh dari musim panen.  

Ketika pemerintah mengimpor saat panen garam akan berimplikasi pada turunnya harga garam di pasaran yang secara otomatis akan menurunkan tingkat pendapatan petani garam.
Beberapa hal di atas menjadi rekomendasi bagi pengambil kebijakan terkait impor garam. Perlu partisipasi aktif dari semua pihak dalam mengawasi dan mengkaji kembali setiap kebijakan pemerintah. Hal ini tentunya untuk mewujudkan kebijakan yang adil bagi kesejahteraan masyarakat.
METODE
penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif adalah  penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alami di mana peneliti adalah sebagai insturumen kunci. Penelitian kualitatif dilakukan untuk memahami fenomena social dari pandangan pelakunya. Pengumpulan data dalam penelitian ini di lakukan dengan teknik observasi partisipasi, wawancara, dam metode lain yang menghasilkan data yang bersifat deskriptif guna mengungkapkan sebab dan proses terjadinya peristiwa yang dialami objek penelitian.metode ini menggunakan pendekatan eksperimen. metode eksperimen sendiri memiliki dua model , yaitu eksperimen tidak sebenarnya(pre experiment design) dan dan eksperimen tiadk sebenarnya(true experiment design)I. Eksperimen adalah penelitian yang tidak selalu menyertakan kelompok control dalam prosesnya. Misalnya, seseorang meneliti pengaruh doi mainkannya music di dalam kelas saat kegiatan belajar mengajar. Jika peneliti hanya mengamati satu kelas yang di beri music maka dia telah menerapkan metode pre experimental design. Namun jika peneliti itu juga mengamati satu kelas yang tidak di beri musik (sebagai pembanding atau kelompok control) maka dia telah menerapkan metode true experiment design. Penelitian ini memilih lokasi di desa Pinggir Papas, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep.
HASIL DAN PEMBAHASAN

            Nasib industri garam memang tragis. Tidak seperti industri baja, pertekstilan, atau sektor alas kaki yang memperoleh perhatian pemerintah dan diberikan sejumlah fasilitas, industri garam seolah dibiarkan hidup seadanya. Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km atau terpanjang keempat di dunia, terpaksa harus terus menerus mengimpor garam setiap tahun. Industri garam bahkan tidak pernah dikelompokkan ke dalam barang strategis kendati kebutuhan domestik sangat besar dan keberadaannya sangat vital dalam mencukupi kebutuhan dasar rakyat.

Terasa aneh memang jika kita mendengar bahwa Indonesia mengimpor garam. Timbul berbagai pertanyaan pada diri kita mengenai hal ini. Sebanarnya Indonesia Negara perairan atau tidak? Perairan Indonesia itu kekeringan ya? Pantai disekitar perairan Indonesia sudah habis ya karena abrasi? Kemana para petani garam Indonesia mereka berubah propesi ya? Kenapa Indonesia bisa mengimpor garam padahal perairan Indonesia sangat luas yaitu sekitar 3.287.010 km^2 dan pantainya sangat panjang sehingga disebut dengan Negara perairan.Indonesia memiliki pantai yang luas, seharusnya mampu menghasilkan garam yang banyak dan berkualitas, namun tidak untuk saat ini, kita belum mampu. Indonesia masih mengimpor garam untuk jenis garam industri, yaitu yang

digunakan sebagai bahan baku atau katalis dalam berbagai jenis industri (misal: penyamakan kulit hewan, tekstil, dan kosmetik). Tentu saja untuk keperluan industri dibutuhkan garam berkualitas, namun lagi-lagi kita belum bisa memenuhi permintaan pasar untuk yang satu ini. Yah.. kemampuan petani garam kita sebagian besar baru sebatas untuk garam konsumsi (garam dapur) yang kebanyakan berada di kualitas ke-3.

Kebutuhan garam konsumsi untuk tahun 2012, sebesar 1,4 juta ton, sedangkan garam Industri 1,8 juta ton.  Kita telah hitung, melalui usulan dari Direktur Jenderal (Dirjen) Manufaktur Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan hasilnya, kita masih membutuhkan 533.000 ton garam kosumsi, dan itu dipenuhi  dengan impor. Selama ini pasar dalam negeri membutuhkan 2 jenis garam, yaitu garam yang diperuntukkan untuk konsumsi dan industri. Garam kosumsi dengan NACL sebesar 94,7 persen digunakan tidak hanya untuk konsumsi tapi juga pengasinan dan untuk kosumsi makanan manusia dan ternak. Sedangkan, garam Industri dengan kadar NACL 97 persen atau kadarnya lebih tinggi dari garam konsumsi, banyak digunakan untuk industri kulit, farmasi dan tekstil. Kebutuhan garam untuk industri 100 persen harus impor. Sedangkan untuk kebutuhan garam kosumsi dilakukan lebih pada penyerapan garam lokal, kekurangannya  baru dipenuhi lewat impor.
Ada yang bilang ini ironis, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan pantai yang sedemikian panjang tetapi tetap saja butuh importasi garam. Akan tetapi, mau tidak mau, suka atau tidak suka, itu memang harus kita lakukan karena hasil produksi tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Tahun ini saja, kita masih membutuhkan 533 ribu ton lagi garam untuk konsumsi dalam negeri. Kekurangan pasokan garam yang kita alami karena ada peran cuaca yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas garam itu sendiri. Berfluktuasinya cuaca di Indonesia menyebabkan kualitas garam yang dihasilkan belum sebaik garam impor. Kondisi alam Indonesia yang demikian subur ternyata menjadi faktor yang cukup merugikan para petani garam. Curah hujan di Indonesia terlalu tinggi atau berkisar 1.200-1.400 mm per tahun, tingkat kelembapan 60%-80%, bulan kemarau 3-6 bulan, luas rata-rata per pegaraman hanya 1.000-1.200 ha (kecuali Sumenep 2.700 ha), sedangkan produktivitas lahan hanya 50-60 ton per ha.

Dari waktu ke waktu, areal pegaraman terancam semakin susut akibat adanya alih fungsi lahan, sehingga produksi secara nasional semakin mengecil.Akibatnya,kecil potensi lahan ideal yang tersedia untuk industri pegaraman.Madura, yang menjadi basis produksi garam terbesar di Indonesia, bahkan hanya memiliki panjang kemarau kering berkelanjutan selama sekitar 5 minggu. Pemerintah pernah melakukan survei udara. Hasilnya, dari total panjang pantai di Indonesia, hanya 34.000 hektare pantai yang memenuhi persyaratan produksi garam, sedangkan yang betul-betul efektif dimanfaatkan baru sekitar 18.000 ha [52,94%]. Dari total produksi garam dunia sekitar 240 juta ton per tahun, Indonesia hanya mampu menghasilkan 1,2 juta ton. Produsen terbesar garam di dunia dipegang China dengan produksi 48 juta ton per tahun, diikuti India (16 juta ton), Australia (12 juta ton), Thailand (3 juta ton), dan Jepang (1,4 juta ton). Di dalam negeri, dari total kebutuhan sekitar 2,79 juta ton pada 2008, industri garam (termasuk garam rakyat), hanya mampu memasok 1,03 juta ton sehingga sekitar 1,63 juta ton garam atau setara 157,89% pasokan tambahan harus dipenuhi dari impor. Kebutuhan garam pada 2008 dialokasikan untuk sektor konsumsi (garam iodisasi) seperti rumah tangga, industri makanan, pengasinan ikan, dan pakan ternak sebesar 1,12 ton. Konsumsi garam noniodisasi (garam perminyakan, industri nonpangan/chlor alkali, perkebunan, farmasi, berkadar garam (NaCl) sekitar 90%-98,5%) mencapai 1,67 juta ton.

            Hal ini menyebabkan kekecewaan dari para petani garam , semakin lama produktifitas garam kita semakin mengecil yang membuat para petani garm merasa seperti di anak tirikan oleh pemerintah, khususnya para petani yang ada di desa pinggir papas yang merasa bahwa jikalau pemerintah Indonesia terus mengimpor garam dari luar maka lama-lama pekerjaan mereka akan hilang. Mereka bertanya-tanya mengapa pemerintah lebih memilih untuk mengimpor barang dari pada untuk mengembangkan segala aspek potensi yang dimiliki oleh wilayah laut Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. 

KESIMPULAN
            Masyarakat  khususnya petani garam sangat kecewa dengan kebijakan diambil oleh pemerintah  itu. Mereka selalu berharap pemerintah dapat melihat mereka sebagai rakyat kecil. Dimana mereka dalam proses produk sinya masih menggunakan tenaga manual masih kalah bersaing dengan dengan garam impor yang notabene menggunakan tenaga  mesin dalam proses produksinya.
             Karena produksi garam  lokal masih belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Yang terpenuhi hanya kebutuhan garam dapur saja, itupun kurang asin, sebab kualitasnya kalah jauh dari  garam impor, karena terkendala oleh cuaca, teknologi dan lain sebagainya. Sedangkan untuk garam industri masih belum bisa terpenuhi.
             Ada tiga syarat vital untuk menghasilkan kualitas garam yang sesuai standar,yang pertama yaitu, air laut sebagai bahan baku harus memiliki kadar garam yang tinggi. Kadar garam bisa tinggi jika di pantai itu tidak terdapat muara sungai sehingga air laut harus jernih. Selain itu, pasang surut air laut yang mencapai permukaan daratan tidak lebih dari 2 meter. Kedua adalah pantai/daratan sebagai ladang pegaraman utama dengan tinggi sekitar 3 meter di atas permukaan laut sehingga air laut tidak boleh porous atau merembes ke dalam tanah (ladang). Untuk ladang perorangan dibutuhkan minimum 1 hektare, sedangkan untuk perusahaan sedikitnya 4.000 hektare. Ketiga, iklim sebagai sumber energi. Curah hujan di suatu pantai  ladang garam  maksimal berkisar 1.000 milimeter 1.300 milimeter (mm) per tahun dengan tingkat kemarau kering berkelanjutan sedikitnya 4 bulan per tahun, jarang mendung dan berkabut serta kelembapan yang rendah (terus-menerus panas).


B. SARAN
           
Seharusnya pemerintah tidak hanya tinggal diam saja, mereka harus mencari solusi dengan cara memberikan infrastruktur yang bagus dan memadai serta menydiakan peralatan-peralatan yang diperlukan oleh para petani untuk proses pengolahan garam. Dengan begitu kualitas garam yang dihasilkan akan lebih baik dan lebih banyak. Selain itu pemerintah juga harus memperhatikan kesejahteraan para petani, karena para petani garam merasa mereka kurang diperhatikan oleh pemerintah. Masyarakat pun juga bisa ikut andil untuk menemukan solusi dari masalah ini dengan cara melakukan penelitian dan juga menciptakan teknologi yang bisa memudahkan para petani garam. Seperti yang dilakukan oleh mantan PNS dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Ingat ! Solusi tanpa aksi, bagaikan sayur tanpa garam.   











DAFTAR PUSTAKA




Bahan Penataran Guru SMU. 1997. sosiologi ll. Jakarta: Depdikbud
Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset  Sosial . Bandung : Mandar Maju
Kun Maryati.  2013. Sosiologi. Jakarta : PT  Penerbit Airlangga
Juju Suryawati.  2013. Sosiologi. Jakarta : PT  Penerbit Airlangga
Sugiono. 2011.Statistika Untuk Penelitian. Bandung : alfabeta
Buku Sosiologi. 2013 . Metode Penelitian Sosial untuk Memahami Gejala Sosial di Masyarakat. Jakarta : PT Tiga  Serangkai Pustaka mandiri

 




 








 

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Interpretasi Budaya Kegotongroyongan Di Desa Secara “Face to face relation” Yang Sudah Mulai Berkurang

ETIKA ADMINISTRASI (Kebijakan Susi Pudjiastuti Dalam Melakukan Penenggelaman Kapal Pelaku Illegal Fishing Sebagai Bentuk Upaya Dalam Menajaga Kedaulatan Wilayah Laut Indonesia)

LAPORAN HASIL BERWIRAUSAHA